Jumat, 19 Juni 2009

Resolusi Terhadap Israel

Perhatian dunia internasional pada pergantian tahun 2008/2009 benar-benar tersita dengan tragedi yang terjadi di Jalur Gaza.

Ketegangan politik antara Israel dengan Hamas memuncak dan menjadi perhatian utama dunia internasional setelah Israel melakukan serangan secara membabi buta. Tak dapat dielakkan lagi, korbanpun berjatuhan, ratusan manusia meregang nyawa, termasuk penduduk sipil dan juga anak-anak tidak luput menjadi korban kebrutalan Israel.

Sampai saat ini, hampir tidak ada yang dapat memastikan sampai kapan serangan brutal itu akan berhenti. Yang pasti hanya antara Hamas dan Israel lah yang tahu kapan serangan itu akan berakhir, yaitu ketika kedua belah pihak telah mencapai titik temu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri yang seyogianya menjadi penengah diantara negara-negara yang sedang dilanda konflik nampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan aksi kekejian yang dilakukan oleh Israel.

Maklum, sebagaimana kita ketahui bahwa dibelakang Israel ada negara adi daya Amerika Serikat yang selalu menjadi pembela dan pendukung setiap langkah Israel. Amerika sebagai salah satu negara pemegang hak Veto di PBB menjadi batu sandungan bagi lembaga internasional itu ketika hendak menjatuhkan sebuah hukuman/sanksi terhadap Israel. Kondisi inilah yang terjadi sampai saat ini.

Bahkan untuk pendistribusian bantuan dari berbagai negara ke Jalur Gaza sempat mengalami hambatan karena pasukan militer Israel tidak menginjinkan bantuan tersebut masuk ke wilayah Palestina. Akibatnya, upaya untuk meminimalisir korban yang meninggal dunia pun menjadi sulit dilakukan. Sementara ada begitu banyak rakyat Palestina yang sangat membutuhkan pertolongan tersebut.

Sebegitu kejamkah Israel, sehingga sampai-sampai penyaluran bantuan kemanusiaan dunia internasional pun tidak diijinkan untuk memasuki wilayah Palestina?. Apa sebenarnya yang menjadi akar dari semua persoalan tersebut?.

Akar Permasalahan

Sebenarnya kalau diteliti lebih jauh, bahwa apa yang menjadi pemicu persoalan antara Hamas dan Israel nampaknya bukanlah masalah aliran agama/kepercayaan. Konflik yang memicu Israel dan Palestina yang sudah melahirkan perang, baik dalam bentuk agresi militer Israel maupun dalam bentuk serangan roket Hamas lebih tepat kalau dikatakan sebagai persoalan kedaulatan negara, yaitu pengakuan wilayah kedua belah pihak.

Akarnya bisa dilacak dengan menelusuri sejarah mulai awal abad ke 20, yaitu sekitar tahun 1930-1948 dimana ketika itu muncul antisemitisisme di Eropa. Xenophobia terhadap orang-orang Yahudi di Eropa terutama di Jerman dan Perncis telah memaksa mereka untuk membeli tanah di wilayah Palestina. Maka terjadilah proses pembelian tanah secara besar-besaran yang belakangan dicaplok oleh Israel untuk menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya.

Namun demikian, juga tidak tertutup kemungkinan bahwa konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina sebagai buah dari persinggungan ruang-ruang sosial yang ada, seperti politik, ekonomi, hukum dan juga budaya. Bisa saja praktek semacam itu merupakan akumulasi dari keinginan-keinginan yang tidak terungkapkan dan tidak memiliki tempat dalam ruang sosial.
Sementara kalau dikaitkan masalah agama/aliran kepercayaan, nampaknya hal ini bukanlah pemicu utamanya.

Sebab kalau melihat masyarakat Palestina yang menjadi korban serangan keji Israel, bahwa disana juga banyak warga kristen yang tidak luput dari serangan membabi buta itu. Memang kebanyakan korban yang meninggal dunia maupun yang mengalami luka parah adalah warga muslim, namun tidak sedikit juga warga kristen yang menjadi korban disana.

Dalam catatan sejarah juga telah terbukti bahwa antara warga muslim dan kristen Palestina selama ini hidup dalam suasana perdamaian, meskipun mayoritas penduduk Palestina adalah Muslim. Mereka sama-sama mencintai tanah airnya dan mereka memiliki cita-cita nasional yang sama pula. Perbedaan agama di Palestina selama ini tidak membuat negara itu terpecah dan melupakan nasionalismenya.

Bukan Persoalan Agama

Demikian juga dengan perjuangan masyarakat Palestina selama ini menuju negara yang merdeka, adil dan sejahtera sama-sama dilakukan oleh warga Palestina, baik yang menganur agama muslim maupun kristen. Mereka sadar bahwa aliran kepercayaan bukanlah menjadi pemisah diantara mereka yang serumpun dan sebangsa untuk memperjuangkan negara mereka menuju negara yang sejahtera.

Sejarah juga telah mencatat bahwa sejumlah figur-figur yang menjadi pejuang Palestina sebagian berasal dari kalangan kristen. Sebut saja misalnya Emil Habibi, George Habash, dan Hanan Ashrawi yang mana mereka adalah merupakan tokoh-tokoh penting dalam perhelatan politik negara Palestina. Demikian juga dengan Raja Shehadeh yang merupakan penulis dan pakar hukum terkemuka dan juga Raymonda Tawil yang merupakan aktivis politik dan juga merupakan ibu mertua dari Almarhum Yasser Arafat.

Bahkan dalam perhelatan dunia internasional, ada Edward Said yang merupakan intelektual dan aktivis politik kristen Palestina yang telah mati-matian membela kepentingan rakyat Palestina. Semua itu menunjukkan bahwa sebenarnya selama ini masyarakat Palestina sudah hidup berdam pingan baik antara kristen dan muslim.

Oleh sebab itu, maka sangat kurang tepat bila mengkaitkan persoalan yang terjadi di jalur Gaza dengan persoalan agama. Apalagi bila melihat bahwa korban dari kebiadaban Israel juga sebagian berasal dari kalangan kristen. Tentu bila persoalan ini merupakan persoalan agama, barangkali Israel tidak akan melakukan serangan secara membabi buta kepada penduduk Palestina. Karena mereka juga tahu betul bahwa di Palestina itu ada sebagian masyarakat yang beragama kristen.

Peran PBB

Terlepas dari apa sebenarnya yang menjadi pemicu konflik Israel dan Palestina, yang lebih penting adalah bagaimana menghentikan serangan yang tidak manusiawi itu agar jangan sampai berlarut-larut dan memakan korban lebih banyak lagi. Disinilah sebenarnya dibutuhkan peran PBB sebagai lembaga internasional untuk menjaga dan memelihara perdamaian dunia. PBB harus mampu menciptakan perdamaian dunia agar kelak kredibilitas PBB benar-benar diakui oleh masyarakat internasional.

Apa yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap The Hague Conventions dan The Geneva Conventions sejauh terkait conduct of war dan serangan terhadap warga sipil. Serangan Israel juga dapat dikategorikan pelanggaran terhadap Statuta Roma. Pertanyaannya, mengapa dunia tak berdaya? Mengapa Dewan Keamanan PBB tak bisa menghentikan perang yang membunuh banyak warga sipil?

Bila dikaji dari sudut pandang Hak Azasi Manusia, maka sebenarnya PBB bisa melakukan beberapa langkah. Langkah pertama adalah memelihara keamanan dan perdamaian internasional sebagaimana tertuang dalam Piagam PBB. PBB wajib melakukan semua tindakan yang dapat menghentikan semua ancaman keamanan dan perdamaian terhadap seluruh negara di dunia.

Langkah berikutnya adalah yang disebut dengan istilah humanitarian intervention bisa dilakukan untuk membantu korban warga sipil tak berdosa. Langkah ini juga nampaknya belum dilakukan oleh PBB. Kewajiban internasional yang disebut responsibility to protect pernah dilakukan di Bosnia, Rwanda, tetapi terlambat. Apakah kejadian yang sama akan terjadi di jalur Gaza?.

Memang, pada tanggal 9 Januari 2009, PBB telah berhasil mengeluarkan resolusi bernomor 1860/2009 tentang serangan militer Israel ke Jalur Gaza. Keluarnya resolusi tersebut pantas kita apresiasi, apalagi bila mengingat bahwa sebelumnya DK PBB telah melakukan sidang, namun tidak berhasil melahirkan sebuah resolusi akibat tidak adanya persetujuan Amerika sebagai salah satu negara pemegang hak veto.

Dalam resolusi tersebut, masalah gencatan senjata dan penyaluran bantuan kemanusiaan menjadi prioritas utama untuk membantu beban rakyat Palestina yang menjadi korban kebiadaban Israel. Namun yang menjadi pertanyaan sekrang adalah sejauh manakah efektivitas dari Resolusi 1860 DK PBB tersebut untuk menghentikan pembantaian kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza?. Apakah resolusi tersebut akan mampu membendung hasrat dan niat Israel yang selalu ingin meluluhlantakkan Hamas atau justru sebaliknya, resolusi tersebut justru diabaikan oleh Israel?.

Disinilah eksistensi dan efektivitas PBB melalui resolusinya sedang diuji dan dipertaruhkan. Bila resolusi kali ini ternyata tidak mampu membendung tindakan brutal Israel, maka itu artinya PBB telah gagal untuk menjaga dan memelihara perdamaian dunia sebagaimana tertuang dalam Piagam PBB. Bila hal itu yang terjadi, maka pada akhirnya PBB tidak lagi dapat dipercaya sebagai lembaga internasional yang bertugas untuk menjaga dan memelihara perdamaian internasional.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar